kasihinfo.com Klaten -- KH. Muchlis Hudaf mengatakan bahwa Ibadah haji secara filosofis merupakan gambaran perjalanan kehidupan seorang manusia. Hal itu disampaikan Muchlis Hudaf saat menyampaikan materi filosofi ibadah haji dalam acara bimbingan manasik haji bersama di Gedung Al-Mabrur komplek RSUI Klaten Senin-Rabu ( 22-24 April 2024 ).
"Praktik-praktik ritual di dalamnya sarat dengan makna-makna simbolik yang penting dijadikan renungan. Pelaksanaan ibadah haji tidak cukup hanya sekadar memenuhi syarat dan rukunnya tanpa menyelami arti terdalam di balik setiap rangkaian ritualnya" katanya.
Dikatakan syarat dan rukun dalam ibadah haji tidak semata-mata menjaga koneksi secara vertikal dengan Allah, justru yang tak kalah penting adalah menangkap makna filosofis haji sebagai pelajaran untuk membangun kesejatian diri dalam mengarungi manasik kehidupan.
"Maka, menemukan hikmah dalam ibadah haji menjadi suatu keniscayaan bagi setiap muslim umumnya dan para jamaah haji khususnya." katanya.
Ibadah haji menurut Muchlis Hudaf merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam yang mengingatkan manusia tentang perjalanan hidup menuju kematian dan kembali kepada Allah.
"Karena itu, bekal terbaik dalam ibadah haji sejak sebelum berangkat, selama dalam manasik, dan perjalanan pulang, bahkan keseluruhan hidup manusia adalah niat pasrah sebagai bentuk penghambaan kepada-Nya." ujarnya.
Dikatakan semua ibadah dalam Islam, termasuk ibadah haji wajib diawali dengan niat meraih ridha Allah. Bukan demi melambungkan status sosial, terlebih hanya untuk mendapat gelar ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Hajah.’
"Jamaah haji harus patuh tunduk dengan menanggalkan segala pakaian kehormatan duniawi dan diganti dengan kain ihram, yakni dua helai kain berwarna putih tanpa jahitan." terangnya.
Dijelaskan saat di Tanah Suci, para jamaah haji berbusana ihram yang serba putih bersih. Barangkali kita bertanya, kenapa harus kain berwarna putih?
"Putih adalah tanda kesucian. Tentu saja, bukan hanya putih pakaiannya, melainkan juga putih hati dan jiwanya, seputih kain ihram." katanya.
Muchlis Hudaf juga mengingatkan bahwa manusia dari segala pelosok dunia, dengan segala macam warna kulit, aneka ras, bangsa, adat istiadat, dan ideologi politik yang berbeda saling bertemu. Ihram mengajarkan kepada manusia agar tidak merasa lebih unggul dari sisi kedudukan, pangkat, derajat sosial, dan keturunan. Pakaian ihram menunjukkan kesederhanaan dan keluar dari gemerlap dunia.
"Melepas pakaian sehari-hari dan menggantinya dengan dua helai kain ihram mengandaikan kondisi seseorang yang meninggal dunia. Dia harus melepaskan semua atribut keduniawian dan berganti dengan kain kafan. Kenyataannya, pakaian dunia itulah yang kerap membuat manusia lupa diri, sehingga bersikap sombong dan angkuh di hadapan sesama" katanya.
Pakaian dunia selama ini kata Muchlis Hudaf telah membentuk pola, preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Ia mengutip ungkapan Ali Shariati pakaian menciptakan “batas palsu” yang menyebabkan “perpecahan” di antara umat manusia. "Selanjutnya, dari perpecahan itu timbul konsep “aku”, bukan “kami atau kita." pungkasnya. ( *Moch.Isnaeni* )